Titipan Freddy Budiman Untuk Pilkada DKI


MEDIAONE.ID - Jasad Freddy Budiman sudah terbaring di kuburannya. Tanahnya masih merah. Bunga pun belum terlalu layu. Namun istirahatnya mungkin akan sedikit “terganggu” menyusul ramainya pemberitaan “warisannya” yang berawal dari tulisan koordinator Kontras Haris Azhar yang diposting Direktur Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) Ulil Abshar Abdalla. 

Sebelum masuk ke topik yang paling sensitif, ada baiknya kita beritahu para pengguna pil ekstasi dan sejenisnya bahwa harga barang-barang itu saat keluar dari pabriknya di China hanya Rp 5.000. Pertanyaannya, berapa ongkos produksinya? Rp 3.000? Rp 2.000? Bukankah harga jual didapat dari biaya produksi ditambah keuntungan? Kita asumsikan saja biaya produksinya Rp 3.000. 

Pertanyaan berikutnya, dengan ongkos segitu, kira-kira bahan apa saja yang digunakan untuk membuat pil-pil setan itu? Getah sintetis? Obat-obatan kedaluwarsa? Salah satu poin terpenting dari “warisan” Freddy Budiman adalah melonjaknya harga pil ekstasi (kita ambil satu contoh saja), akibat titipan harga dari oknum-oknum di Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan aparat keamanan. Konon ratusan miliar sudah disetor ke oknum di lembaga-lembaga tersebut. 

Namun Freddy Budiman tidak rugi apapun karena pasiennya yang membayar. Asumsinya, dengan modal Rp 5.000 per butir, Freddy Budiman menjualnya seharga Rp 50.000 per butir.  Setelah oknum-oknum itu titip harga, harganya berada di kisaran Rp 200-300 ribu. Harga akan kembali melonjak manakala sedang banyak razia. 

Entah disadari atau tidak oleh aparat bersangkutan, razia obat-obatan terlarang adalah salah satu faktor yang bisa mendongkrak harga pasar barang haram itu. Jika sebelum ada razia harga sebutir pil ekstasi hanya Rp 125.000 per butir, setelah ada razia harganya melonjak sampai Rp 400.000 per butir karena berlaku hukum pasar di mana ketika demand tinggi di saat supply seret, pasti berimbas pada lonjakan harga barang bersangkutan. 

Titip harga sebenarnya kosakata yang sudah sangat familiar di dunia pengusaha terutama yang memasok barang atau mengerjakan proyek-proyek pemerintah, termasuk BUMN. Meski saat ini permainan titip harga sudah reda, namun di beberapa instansi masih saja terjadi. 

Dulu di masa Orde Baru berkuasa hingga awal tahun 2000-an, jika Anda memasok barang ke sebuah instansi pemerintah, harganya pasti dua kali lipat harga di pasaran karena adanya titipan harga tersebut. Jika hanya fee ala kadarnya tidak akan diterima. 

Dengan adanya testimoni Freddy Budiman, kini kita tahu model titip harga oleh pejabat/aparat negara, ternyata tidak hanya ada di dunia usaha, namun juga dunia hitam! Namun mengapa testimoni itu baru diungkap sekarang padahal Haris Azhar bertemu Freddy Budiman tahun 2014 lalu? Apakah karena menunggu momentum eksekusi yang bersangkutan? Atau hanya untuk memberi sedikit catatan “baik” untuk Freddy Budiman? Jika itu motifnya, yakinlah Freddy Budiman tetap akan dikenang sebagai- meminjam istilah Freddy Budiman terkait peran dirinya dalam jaringan narkoba internasional, operator  penyelundupan narkoba.  

Testimoni itu juga tidak akan memberikan dampak apapun karena yang disampaikan hanya hal-hal yang sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat. Jika Anda pernah melihat grafis di Polsek atau Polres terkait peredaran narkoba suatu wilayah, Anda akan terbengong-bengong. Sebab tidak ada satupun bandar narkoba yang tidak diketahui oleh polisi. Mereka semua sudah terdaftar. 

Ketika wartawan menanyakan mengapa tidak ditangkap, jawabnya sangat beragam dari mulai belum ada barang bukti sampai “sedang dipantau untuk mengungkap jaringan yang lebih luas”. 

Jadi apa urgensinya warisan Freddy Budiman? Salah satu instansi yang disorot dalam testimoni itu adalah BNN yang dikomandoi Komjen Budi Waseso. Dalam beberapa minggu terakhir, nama Buwas- begitu sapaannya, masuk radar sejumlah partai politik untuk dijadikan penantang petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilgub DKI 2017 mendatang. 

Buwas juga berpotensi menjadi “matahari” di Polri. Sepak-terjangnya  cukup melegenda meski penulis termasuk yang ikut mengkritisi ketika dengan mudah Buwas - yang saat itu menjabat sebagai Kabareskrim Polri, mentersangkakan siapa saja yang berbeda pendapat dengannya. 

Tetapi setelah sejumlah gebrakan, terutama saat membongkar korupsi di tubuh Pelindo II, nama Buwas pun meroket. Penempatannya sebagai Kepala BNN kian melambungkan namanya. Lazimnya dalam sebuah organisasi, ketuanya pasti tidak ingin ada “matahari” lain dalam organisasinya. 

Meski testimoni itu dilakukan tahun 2014- di mana Buwas belum menjabat sebagai kepala BBN, namun Buwas tetap akan terkena efek negatifnya karena lembaga yang seharusnya menjadi benteng negara dalam perang melawan narkoba, justru terkontaminasi uang narkoba. 

Meski disebut “oknum”, namun kita semua pun tahu permainan semacam itu tidak mungkin hanya dilakukan oleh oknum (satu orang), apalagi untuk instansi sebesar BNN.         

Jadi, adakah kaitannya testimoni Freddy Budiman yang beredar belakangan ini dengan panasnya pilkada DKI Jakarta?

Sumber : kompasiana.com

0 Response to "Titipan Freddy Budiman Untuk Pilkada DKI "

close
disini bro
close
disini bro