MEDIAONE.ID - SISWA SMA INI TANTANG “MENDIKBUD” KARENA KECEWA DENGAN SISTEM PENDIDIKAN YANG ADA DI INDONESIA SEKARANG., BANTU SEBARKAN SEMOGA PESAN INI SAMPAI KE MENDIKBUD DAN MEMPERBAIKI AGAR PENDIDIKAN DI INDONESIA SEMAKIN LEBIH BAIK LAGI
Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat,
di tempat.
16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…
a. terpaksa
b. terpuji
c. tercela
d. terbiasa
Ardi berhenti di masalah nomor enam belas itu, satu diantara masalah ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, serta hatinya berdenyut perih waktu dilihatnya satu coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomer itu tanpa ada ragu, tetapi dengan penuh keyakinan…
Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, serta ia menghela nafas dalam-dalam demikian membaca isinya.
Jadi bagaimana Di, ikut-ikutan pakai ‘itu’ nggak?
Mungkin bukanlah kebetulan Ardi temukan beberapa soal ulangan SD-nya waktu ia ingin mencari buku-buku lamanya, mungkin bukan kebetulan Ardi membaca masalah nomor enam belas serta jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda sesudah ia mengirim sebaris kalimat yakin…
Nggak, Jo, saya mau jujur saja.
Satu balasan pahit mampir selang beberapa detik sesudahnya,
Ah, cemen kamu.
Namun tidak, Ardi tidak goyah. Ia mengulum senyum serta batinnya berbisik pelan, salah, Jo.
Jujur itu keren.
UNAS. Satu jadwal tahunan yang diadakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa sepanjang bebrapa th. terlebih dulu. Satu penentu kelayakan seseorang siswa untuk lulus dari tahap pendidikan yang telah dia lakoni atau tidak. UNAS sudah sejak lama ada, mencakup beragam tingkat pendidikan, dari mulai SD, SMP, hingga yang terakhir, yaitu SMA. Telah mulai sejak lama juga UNAS memetik pro serta kontra, yang mana rupanya kontra itu akhir-akhir ini sukses ‘memaksa’ pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Tengah untuk tingkat SMP serta SMA, peluang itu masihlah mesti menanti.
Setiap kali UNAS akan di gelar, semua elemen orang-orang turut tertarik kedalam pusaran perbincangannya. Perbincangan mengenai perlu-tidaknya diselenggarakan UNAS tidak pernah tidak hadir dari percakapan ringan di warung kopi, serta acara-acara yang mengklaim menginginkan berikan motivasi beberapa peserta UNAS juga bermunculan di beberapa channel tv. Di sela-sela program motivasi itu, seandainya ada session tanya-jawab, nyaris dapat di pastikan bakal ada seseorang partisipan yang melempar bertanya :
” Bagaimana dengan kecurangan UNAS? ”
Ah, ya, UNAS memang belum pernah terlepas dari ketidakjujuran.
Saat ini, janganlah geram bila saya katakan kalau UNAS sama dengan kecurangan. Sebab bila tak, pertanyaan itu akan tidak terus-terusan terdengar. Namun kenyataannya, makin lama pertanyaan itu makin berdengung di setiap pojok daerah yang miliki instansi pendidikan ; serta tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan yaitu waktu bebrapa instansi pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran yaitu kunci kesuksesan’ itu, cuma dapat tersenyum tidak tebal serta menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di beberapa media.
UNAS dengan semua problematika serta dilematika yang dibawanya memanglah tidak pernah habis untuk dikupas, serta sayangnya ia tidak pernah jemu juga menjumpai jalan buntu. Dari th. ke th. senantiasa ada laporan mengenai kecurangan, namun ironisnya tiap-tiap th. itu juga pemerintah tetaplah tersenyum serta menyampaikan kabar dengan bahagia kalau ‘UNAS th. ini alami penambahan, kelulusan th. ini alami kenaikan, rata-rata th. ini alami kemajuan’, serta beberapa hal indah yang lain. Dahulu, waktu saya belum mencapai kelas tiga, saya memikirkan kalau grafik itu benar ada serta saya juga terkagum-kagum oleh penambahan pendidikan yang dihadapi oleh generasi muda Indonesia.
Namun saat ini, sebagai pelajar yang barusan melakukan UNAS… dengan berat hati saya mengakui kalau saya tak dapat lagi yakin pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yang barusan melakukan UNAS, saya malah miliki beberapa pertanyaan yang saya simpan dalam hati saya. Banyak beban fikiran yang menginginkan saya sampaikan pada Bapak Menteri Pendidikan. Namun tenang saja, Bapak tak perlu jadi pembaca fikiran untuk tahu semuanya, lantaran saya bakal menceritakannya sedikit untuk sedikit disini. Dari beragam kekalutan serta sinyal bertanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya jadi tiga poin utama…
Pertama, mengenai kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… pernah tak terpikir oleh Bapak bagaimana langkahnya seseorang guru Bhs Indonesia dapat bikin 20 masalah yang tidak sama, dengan tingkat kesusahan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tak terpikir oleh Bapak bagaimana langkahnya seseorang guru Biologi bikin 20 masalah yang tidak sama, dengan skala kesusahan yang sama, cuma untuk satu tanda ‘menjelaskan manfaat organel sel pada tumbuhan serta hewan’?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu tidak mungkin. Harus bakal ada satu type masalah yang berisi pertanyaan dengan bobot lebih sulit dari type lain. Hal semacam ini terang tak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan memperoleh type dengan masalah sulit sedemikian itu. Sebab orang akan tidak pernah perduli apakah masalah yang saya terima lebih sulit dari si A atau tak. Manusia itu makhluk yang kerapkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang akan tidak pernah ajukan pertanyaan, ‘tipe soalmu ada berapakah nomer yang sulit? ‘ tetapi bakal segera ajukan pertanyaan, ‘nilai UNASmu berapakah? ‘.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, disini Bapak bakal beralasan, mungkin, bahwa bila siswa telah belajar, jadi sesusah apa pun soalnya akan tidak punya masalah. Namun cobalah ingat kembali, Pak, apa sih maksud diadakannya Ujian Nasional itu? Bikin satu standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk mengambil keputusan satu garis yang bakal jadi referensi berbarengan, ‘kan? Saat ini, bagaimana dapat UNAS jadikan patokan nasional waktu antar paket saja ada ketidakmerataan bobot masalah? Ini belum mengenai ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Ke-2, mengenai pertanyaan-pertanyaan UNAS th. ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya ketahui Bapak telah mengklarifikasinya di twitter, kalau masalah th. ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris dibagian kata ‘sedikit’ ini). Namun, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot masalah kami dinaikkan cuma hingga standard Internasional. Ke-2, konfirmasi itu Bapak berikan sesudah UNAS usai. Saya jadi memahami mengapa di sekolah saya disediakan tabung oksigen sepanjang proses UNAS. Mungkin saja sekolah cemas kami pingsan karena sangat bahagianya menjumpai bebrapa masalah itu, ‘kan?
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, disini Bapak bakal beralasan, mungkin, bahwa bila siswa telah belajar, jadi sesusah apapun soalnya akan tidak punya masalah. Namun cobalah ingat kembali, Pak, apa sih maksud diadakannya Ujian Nasional itu? Bikin satu standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk mengambil keputusan satu garis yang bakal jadi referensi berbarengan, ‘kan? Saat ini, bagaimana dapat UNAS jadikan patokan nasional waktu antar paket saja ada ketidakmerataan bobot masalah? Ini belum mengenai ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Ke-2, mengenai pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya ketahui Bapak telah mengklarifikasinya di twitter, kalau masalah th. ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris dibagian kata ‘sedikit’ ini). Namun, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot masalah kami dinaikkan cuma hingga standard Internasional. Ke-2, konfirmasi itu Bapak berikan sesudah UNAS usai. Saya jadi memahami mengapa di sekolah saya disediakan tabung oksigen sepanjang proses UNAS. Mungkin saja sekolah cemas kami pingsan karena sangat bahagianya menjumpai bebrapa masalah itu, ‘kan?
Bapak, saya tak tahu, betul-betul tak tahu… apa yang ada di fikiran Beberapa Bapak semuanya waktu bikin, membuat, serta cetak bebrapa masalah itu? Bapak menyampaikan di twitter Bapak, ‘tiap th. senantiasa ada keluhan siswa lantaran masalah yang baru’. Namun, Pak, sekali ini saja… sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan enjoy, kumpulkan contoh masalah UNAS th. dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, serta dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin cobalah Bapak bandingkan, ketidaksamaan tingkat kesusahan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Ketidaksamaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Serta selanjutnya, cobalah cermati serta kaji baik-baik, ketidaksamaan type serta skala kerumitan masalah dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Bila Bapak masihlah terasa tak ada yang salah dengan bebrapa masalah itu, saya ceritai suatu hal deh Pak. Bapak tahu tak, waktu hari ke-2 UNAS, saya pernah mengingat-ingat dua masalah Matematika yg tidak saya dapat. Saya ingat-ingat hingga ke pilihan jawabannya meskipun. Lalu, sesudah UNAS usai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk bertanya dua masalah itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau serta saya tunggulah. Lantas, akhirnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya sesudah bergelut dengan dua masalah itu sepanjang sepuluh menit. Ya… beliau katakan ada yang salah dengan ke-2 masalah itu. Namun yang ada di kepala saya cuma pertanyaan-pertanyaan heran…
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab suatu hal yang guru saya saja belum pasti bisa menjawabnya?
Tidak diuji dulukah kevalidan bebrapa soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa bebrapa masalah itu? Beberapa dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak kalau kelak yang bakal hadapi bebrapa masalah itu yaitu kami, beberapa pelajar kelas tiga SMA dari semua Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi pada Bapak kalau di Indonesia ini masihlah terdapat beberapa sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi masalah berstandard Internasional, dilengkapi dengan sarana pengajaran yang layak saja telah sujud sukur?
Etiskah menuntut sebelumnya berikan?
Etiskah berikan kami masalah berstandard Internasional di waktu Bapak belum dapat meyakinkan kalau semua Indonesia ini siap untuk masalah satu tingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin saja akan teringat dengan berita, ‘Pelajar Menyampaikan kalau UNAS Menyenangkan’. Lalu Bapak akan merasa tak yakin dengan semuanya yang telah saya katakan. Bila telah demikian, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tak yakin mengapa ada yang dapat menyampaikan kalau UNAS tempo hari mengasyikkan. Awalannya saya jadi menduga kalau itu sarkasme, sebab sejujurnya, banyak rekan-rekan saya yang menangis setelah kerjakan Biologi. Mereka menangis lagi sesudah Matematika serta Kimia. Lantas airmata mereka juga masihlah keluar selesai kerjakan Fisika. Saat ini, dimana letak ‘UNAS menyenangkan’ itu? Untuk saya, cuma ada dua jawabannya ; pada narasumber berita itu benar-benar sangat pandai, atau dia meniti jalan pintas…
Jalan pintas itu yaitu hal ketiga yang menganggu fikiran saya sepanjang UNAS ini. Satu bentuk kecurangan yg tidak pernah saya mengerti kenapa dapat berlangsung, yakni joki.
Kenapa saya tak memahami joki itu dapat berlangsung? Sebab, tiap-tiap th. pemerintah senantiasa koar-koar kalau ” Masalah UNAS aman! Akan tidak bocor! Tentu terjamin steril serta bersih! “, namun saat hari H proses…
voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Bila bocor itu paling-paling cuma lima puluh % benar, ini ada joki yang dapat hingga sembilan puluh % akurat. Sembilan puluh %! Astaghfirullah hal adzim, itu bukanlah bocor lagi namanya, tetapi banjir. Lalu ajaibnya juga, yang telah dikerjakan pemerintah untuk menanggulangi hal semacam ini selama yang saya saksikan baru satu :
Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat,
di tempat.
16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…
a. terpaksa
b. terpuji
c. tercela
d. terbiasa
Ardi berhenti di masalah nomor enam belas itu, satu diantara masalah ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, serta hatinya berdenyut perih waktu dilihatnya satu coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomer itu tanpa ada ragu, tetapi dengan penuh keyakinan…
Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, serta ia menghela nafas dalam-dalam demikian membaca isinya.
Jadi bagaimana Di, ikut-ikutan pakai ‘itu’ nggak?
Mungkin bukanlah kebetulan Ardi temukan beberapa soal ulangan SD-nya waktu ia ingin mencari buku-buku lamanya, mungkin bukan kebetulan Ardi membaca masalah nomor enam belas serta jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda sesudah ia mengirim sebaris kalimat yakin…
Nggak, Jo, saya mau jujur saja.
Satu balasan pahit mampir selang beberapa detik sesudahnya,
Ah, cemen kamu.
Namun tidak, Ardi tidak goyah. Ia mengulum senyum serta batinnya berbisik pelan, salah, Jo.
Jujur itu keren.
UNAS. Satu jadwal tahunan yang diadakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa sepanjang bebrapa th. terlebih dulu. Satu penentu kelayakan seseorang siswa untuk lulus dari tahap pendidikan yang telah dia lakoni atau tidak. UNAS sudah sejak lama ada, mencakup beragam tingkat pendidikan, dari mulai SD, SMP, hingga yang terakhir, yaitu SMA. Telah mulai sejak lama juga UNAS memetik pro serta kontra, yang mana rupanya kontra itu akhir-akhir ini sukses ‘memaksa’ pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Tengah untuk tingkat SMP serta SMA, peluang itu masihlah mesti menanti.
Setiap kali UNAS akan di gelar, semua elemen orang-orang turut tertarik kedalam pusaran perbincangannya. Perbincangan mengenai perlu-tidaknya diselenggarakan UNAS tidak pernah tidak hadir dari percakapan ringan di warung kopi, serta acara-acara yang mengklaim menginginkan berikan motivasi beberapa peserta UNAS juga bermunculan di beberapa channel tv. Di sela-sela program motivasi itu, seandainya ada session tanya-jawab, nyaris dapat di pastikan bakal ada seseorang partisipan yang melempar bertanya :
” Bagaimana dengan kecurangan UNAS? ”
Ah, ya, UNAS memang belum pernah terlepas dari ketidakjujuran.
Saat ini, janganlah geram bila saya katakan kalau UNAS sama dengan kecurangan. Sebab bila tak, pertanyaan itu akan tidak terus-terusan terdengar. Namun kenyataannya, makin lama pertanyaan itu makin berdengung di setiap pojok daerah yang miliki instansi pendidikan ; serta tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan yaitu waktu bebrapa instansi pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran yaitu kunci kesuksesan’ itu, cuma dapat tersenyum tidak tebal serta menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di beberapa media.
UNAS dengan semua problematika serta dilematika yang dibawanya memanglah tidak pernah habis untuk dikupas, serta sayangnya ia tidak pernah jemu juga menjumpai jalan buntu. Dari th. ke th. senantiasa ada laporan mengenai kecurangan, namun ironisnya tiap-tiap th. itu juga pemerintah tetaplah tersenyum serta menyampaikan kabar dengan bahagia kalau ‘UNAS th. ini alami penambahan, kelulusan th. ini alami kenaikan, rata-rata th. ini alami kemajuan’, serta beberapa hal indah yang lain. Dahulu, waktu saya belum mencapai kelas tiga, saya memikirkan kalau grafik itu benar ada serta saya juga terkagum-kagum oleh penambahan pendidikan yang dihadapi oleh generasi muda Indonesia.
Namun saat ini, sebagai pelajar yang barusan melakukan UNAS… dengan berat hati saya mengakui kalau saya tak dapat lagi yakin pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yang barusan melakukan UNAS, saya malah miliki beberapa pertanyaan yang saya simpan dalam hati saya. Banyak beban fikiran yang menginginkan saya sampaikan pada Bapak Menteri Pendidikan. Namun tenang saja, Bapak tak perlu jadi pembaca fikiran untuk tahu semuanya, lantaran saya bakal menceritakannya sedikit untuk sedikit disini. Dari beragam kekalutan serta sinyal bertanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya jadi tiga poin utama…
Pertama, mengenai kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… pernah tak terpikir oleh Bapak bagaimana langkahnya seseorang guru Bhs Indonesia dapat bikin 20 masalah yang tidak sama, dengan tingkat kesusahan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tak terpikir oleh Bapak bagaimana langkahnya seseorang guru Biologi bikin 20 masalah yang tidak sama, dengan skala kesusahan yang sama, cuma untuk satu tanda ‘menjelaskan manfaat organel sel pada tumbuhan serta hewan’?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu tidak mungkin. Harus bakal ada satu type masalah yang berisi pertanyaan dengan bobot lebih sulit dari type lain. Hal semacam ini terang tak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan memperoleh type dengan masalah sulit sedemikian itu. Sebab orang akan tidak pernah perduli apakah masalah yang saya terima lebih sulit dari si A atau tak. Manusia itu makhluk yang kerapkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang akan tidak pernah ajukan pertanyaan, ‘tipe soalmu ada berapakah nomer yang sulit? ‘ tetapi bakal segera ajukan pertanyaan, ‘nilai UNASmu berapakah? ‘.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, disini Bapak bakal beralasan, mungkin, bahwa bila siswa telah belajar, jadi sesusah apa pun soalnya akan tidak punya masalah. Namun cobalah ingat kembali, Pak, apa sih maksud diadakannya Ujian Nasional itu? Bikin satu standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk mengambil keputusan satu garis yang bakal jadi referensi berbarengan, ‘kan? Saat ini, bagaimana dapat UNAS jadikan patokan nasional waktu antar paket saja ada ketidakmerataan bobot masalah? Ini belum mengenai ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Ke-2, mengenai pertanyaan-pertanyaan UNAS th. ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya ketahui Bapak telah mengklarifikasinya di twitter, kalau masalah th. ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris dibagian kata ‘sedikit’ ini). Namun, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot masalah kami dinaikkan cuma hingga standard Internasional. Ke-2, konfirmasi itu Bapak berikan sesudah UNAS usai. Saya jadi memahami mengapa di sekolah saya disediakan tabung oksigen sepanjang proses UNAS. Mungkin saja sekolah cemas kami pingsan karena sangat bahagianya menjumpai bebrapa masalah itu, ‘kan?
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, disini Bapak bakal beralasan, mungkin, bahwa bila siswa telah belajar, jadi sesusah apapun soalnya akan tidak punya masalah. Namun cobalah ingat kembali, Pak, apa sih maksud diadakannya Ujian Nasional itu? Bikin satu standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk mengambil keputusan satu garis yang bakal jadi referensi berbarengan, ‘kan? Saat ini, bagaimana dapat UNAS jadikan patokan nasional waktu antar paket saja ada ketidakmerataan bobot masalah? Ini belum mengenai ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Ke-2, mengenai pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya ketahui Bapak telah mengklarifikasinya di twitter, kalau masalah th. ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris dibagian kata ‘sedikit’ ini). Namun, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot masalah kami dinaikkan cuma hingga standard Internasional. Ke-2, konfirmasi itu Bapak berikan sesudah UNAS usai. Saya jadi memahami mengapa di sekolah saya disediakan tabung oksigen sepanjang proses UNAS. Mungkin saja sekolah cemas kami pingsan karena sangat bahagianya menjumpai bebrapa masalah itu, ‘kan?
Bapak, saya tak tahu, betul-betul tak tahu… apa yang ada di fikiran Beberapa Bapak semuanya waktu bikin, membuat, serta cetak bebrapa masalah itu? Bapak menyampaikan di twitter Bapak, ‘tiap th. senantiasa ada keluhan siswa lantaran masalah yang baru’. Namun, Pak, sekali ini saja… sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan enjoy, kumpulkan contoh masalah UNAS th. dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, serta dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin cobalah Bapak bandingkan, ketidaksamaan tingkat kesusahan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Ketidaksamaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Serta selanjutnya, cobalah cermati serta kaji baik-baik, ketidaksamaan type serta skala kerumitan masalah dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Bila Bapak masihlah terasa tak ada yang salah dengan bebrapa masalah itu, saya ceritai suatu hal deh Pak. Bapak tahu tak, waktu hari ke-2 UNAS, saya pernah mengingat-ingat dua masalah Matematika yg tidak saya dapat. Saya ingat-ingat hingga ke pilihan jawabannya meskipun. Lalu, sesudah UNAS usai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk bertanya dua masalah itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau serta saya tunggulah. Lantas, akhirnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya sesudah bergelut dengan dua masalah itu sepanjang sepuluh menit. Ya… beliau katakan ada yang salah dengan ke-2 masalah itu. Namun yang ada di kepala saya cuma pertanyaan-pertanyaan heran…
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab suatu hal yang guru saya saja belum pasti bisa menjawabnya?
Tidak diuji dulukah kevalidan bebrapa soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa bebrapa masalah itu? Beberapa dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak kalau kelak yang bakal hadapi bebrapa masalah itu yaitu kami, beberapa pelajar kelas tiga SMA dari semua Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi pada Bapak kalau di Indonesia ini masihlah terdapat beberapa sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi masalah berstandard Internasional, dilengkapi dengan sarana pengajaran yang layak saja telah sujud sukur?
Etiskah menuntut sebelumnya berikan?
Etiskah berikan kami masalah berstandard Internasional di waktu Bapak belum dapat meyakinkan kalau semua Indonesia ini siap untuk masalah satu tingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin saja akan teringat dengan berita, ‘Pelajar Menyampaikan kalau UNAS Menyenangkan’. Lalu Bapak akan merasa tak yakin dengan semuanya yang telah saya katakan. Bila telah demikian, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tak yakin mengapa ada yang dapat menyampaikan kalau UNAS tempo hari mengasyikkan. Awalannya saya jadi menduga kalau itu sarkasme, sebab sejujurnya, banyak rekan-rekan saya yang menangis setelah kerjakan Biologi. Mereka menangis lagi sesudah Matematika serta Kimia. Lantas airmata mereka juga masihlah keluar selesai kerjakan Fisika. Saat ini, dimana letak ‘UNAS menyenangkan’ itu? Untuk saya, cuma ada dua jawabannya ; pada narasumber berita itu benar-benar sangat pandai, atau dia meniti jalan pintas…
Jalan pintas itu yaitu hal ketiga yang menganggu fikiran saya sepanjang UNAS ini. Satu bentuk kecurangan yg tidak pernah saya mengerti kenapa dapat berlangsung, yakni joki.
Kenapa saya tak memahami joki itu dapat berlangsung? Sebab, tiap-tiap th. pemerintah senantiasa koar-koar kalau ” Masalah UNAS aman! Akan tidak bocor! Tentu terjamin steril serta bersih! “, namun saat hari H proses…
voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Bila bocor itu paling-paling cuma lima puluh % benar, ini ada joki yang dapat hingga sembilan puluh % akurat. Sembilan puluh %! Astaghfirullah hal adzim, itu bukanlah bocor lagi namanya, tetapi banjir. Lalu ajaibnya juga, yang telah dikerjakan pemerintah untuk menanggulangi hal semacam ini selama yang saya saksikan baru satu :
masalah! Bila pada saat saya SD dahulu type UNAS cuma satu, pada saat SMP beranak-pinak jadi lima. Puncaknya pada saat SMA ini,
berkembang-biak jadi 20 paket masalah. Pemerintah nampaknya berasumsi kalau banyak paket masalah akan bikin jawaban joki meleset serta UNAS bisa jalan mulus, murni, bersih, sebersih baju yang dicuci gunakan detergen mahal.
Iya segera bersih
cling demikian, toh?
Kenyataannya tak.
Meskipun dengan 20 paket masalah, joki-joki itu rupanya masihlah dapat memperkirakan masalah sekalian jawabannya. Penambahan jumlah paket itu cuma bikin tarif mereka semakin naik. Setahu saya, mereka bahkan juga dapat memasukkan kalimat pertama untuk empat nomer tententu di setiap paket supaya beberapa siswa dapat mencari yang mana paket mereka. Lho, kok dapat? Ya tak tahu. Tidaklah sampai disana, jawaban yang mereka berikanlah juga dapat tembus hingga diatas sembilan puluh %. Lho, kok dapat? Ya sekali lagi, tak tahu. Seperti yang saya katakan, bila telah tiba sembilan puluh % akurat demikian bukanlah bocor lagi namanya, tetapi banjir bandang. Waktu joki telah dapat memasukkan masalah, tidak cuma jawaban, jadi yaitu satu misteri Ilahi bila pemerintah masihlah mampu bersumpah tak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memanglah cuma pelajar umum. Namun saya dapat juga membedakan mana jawaban yang memercayakan dukun serta mana jawaban yang didapat lantaran pernah lihat masalah. Apa salah bila pada akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun serta pencetak masalah? Sebab jujur saja, air hujan akan tidak menetesi lantai tempat tinggal bila tak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… tiga hal yang saya paparkan diatas telah mulai sejak lama menggumpal di hati serta fikiran saya, menggedor-gedor batas kekuatan saya, menghimpit kepercayaan serta iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, kalau tingkat masalah yang sedemikian berikut yang meningkatkan kami, beberapa pelajar, untuk berbuat curang? Bila tak… saya beritahu satu hal, Pak. Terdapat banyak rekan saya yang semula berkemauan untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, fokus diri pada materi yang di ajarkan oleh beberapa guru, serta berdoa dengan khusyuk. Namun sesudah lihat masalah yg tidak berperikesiswaan itu, kemauan mereka luruh. Waktu dihadapkan pada masalah yang belum pernah mereka saksikan terlebih dulu itu, mereka roboh. Mereka menangis, Pak. Apa kekeliruan mereka hingga mereka layak untuk di buat menangis bahkan juga sesudah mereka berupaya keras? Sebagian dari mereka sangat terpaksa mengintip jawaban yang disebar rekan-rekan, lantaran dihantui oleh perasaan takut tak lulus. Sebagian yang lain cuma dapat bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa diantara airmata mereka… mengharapkan Tuhan menolong.
Saya tak dapat seutuhnya menyalahkan rekan-rekan yang sangat terpaksa curang sesudah mereka belajar namun masalah yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan serta angan yang tidak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orang-tua. Makin jujur kami, makin berat beban itu. Sebelumnya hingga di gerbang UNAS, kami sudah melalui ulangan sekolah, ulangan praktik, serta beragam ulangan yang lain. Tenaga, cost, serta fikiran kami telah banyak terkuras. Namun waktu kami menggenggam harapan serta doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut beberapa penyusunnya sendiri berisi masalah OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk serta kerjakan masalah Matematika yang kami bisa di UNAS tempo hari sepanjang dua jam tanpa ada lihat buku ataupun internet. Bila Bapak dapat menjawab benar lima puluh % saja, Bapak saya akui layak jadi Menteri. Bila Bapak berdalih ‘ah, ini bukanlah bagian saya’, lalu Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak sangka kami semuanya anak OSN? Apa Bapak sangka kami semuanya pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bhs Indonesia, serta Bhs Inggris sekalian? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semuanya bidang itu? Telah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tak.
Sudah pasti Bapak tak sepercaya itu pada kami. Sebab bila Bapak yakin, Bapak akan tidak hingga terpikir untuk bikin dua puluh paket masalah, walau sebenarnya lima paket saja belum pasti bobot masalah ke lima paket itu seratus % sama. Bila Bapak yakin, Bapak akan tidak berniat menempatkan persentase UNAS diatas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, walau sebenarnya belum pasti kemurnian nilai UNAS itu diatas kemurnian nilai sekolah. Bila Bapak yakin, Bapak akan tidak terasa butuh untuk lakukan sidak. Bila Bapak yakin… mungkin saja Bapak bahkan juga akan tidak terasa butuh untuk mengadakan UNAS.
Anda akan menyampaikan kalimat klise itu, Pak, kalau nilai itu tak utama, yang utama itu kejujuran.
Namun tahukah, bahwa kebijakan Bapak begitu kontradiktif dengan kalimat Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang cuma berjalan tiga hari tanpa ada jaminan kalau siswa yang melakukan ada dalam keadaan optimalnya) diatas bobot nilai sekolah (yang sepanjang tiga th. telah sulit payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak otomatis mengutamakan kalau UNAS itu utama, serta tersebut sebenarnya, Pak. Tersebut fakta yang bikin kami, beberapa pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak kalau keyakinan diri siswa gampang hancur? Pertahanan kami makin remuk saat kami dihadapkan oleh masalah yang ada diluar pengalaman kami. Sempatkah Bapak fikirkan ini terlebih dulu? Kalau masalah yang diluar kekuatan kami, masalah yang luput Bapak sosialisasikan pada kami walau persiapan UNAS bukan sekedar satu-dua minggu serta Bapak sebenarnya miliki banyak peluang bila saja Bapak ingin, sebenarnya dapat bikin kami alami mental breakdown yang begitu kuat? Sempatkah Bapak fikirkan ini sebelumnya mengambil keputusan untuk keluarkan bebrapa masalah tak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene yaitu penentu kelulusan kami?
Selanjutnya, Pak, ijinkan saya untuk menyampaikan, kalau apa yang telah Bapak kerjakan selama ini mengenai UNAS malah cuma bikin kecurangan makin merebak. Bapak serta beberapa orang dewasa yang lain kerap menyampaikan kalau kami yaitu remaja yang masihlah labil. Masih tetap dalam sistem pencarian jati diri. Kerap bertingkah tidak paham diri, tidak mematuhi etika, serta berbuat onar. Namun tahukah, saat semestinya Bapak sebagai orang-tua kami memberi kami panduan ke jalan yang baik, apa yang Bapak kerjakan dengan UNAS sepanjang tiga hari ini malah mengarahkan kami pada jati diri yang jelek. Tingkat kesusahan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yg tidak pernah diusut hingga selesai letak kebocorannya, paket masalah yang belum terang kesamarataan bobotnya, semuanya malah mengarahkan kami, beberapa siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah juga ditekan oleh tujuan lulus seratus %, hingga mereka diam hadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Beberapa pendidik terdiam saat semestinya mereka berteriak lantang menentang dusta. Bila butuh, sekalian jalin perjanjian dengan sekolah lain yang kebetulan jadi pengawas, supaya anak didiknya tak dipersulit.
Hingga sini, masihlah beranikah Bapak katakan kalau tak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga begitu besar bukan sekedar pada UNAS namun juga pada system pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Mungkin sekolah yang salah, lantaran sudah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tidak benar. Mungkin kami yang salah, lantaran kami sangat pengecut untuk menjaga kejujuran. Mungkin joki-joki itu yang salah, lantaran mereka jual kecurangan serta berbuat tidak etis pengetahuan untuk memperoleh duit.
Namun tak salah jugakah pemerintah? Tak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan berlangsung lantaran ada peluang. Tidakkah telah jadi pekerjaan Bapak sebagai yang berwenang untuk meyakinkan kalau peluang untuk berlaku curang itu tak ada?
Mungkin saja Bapak akan tidak yakin pada saya, serta Bapak akan berkata, ” Kita saksikan saja akhirnya kelak. ”
Lalu satu bulan lagi saat hasil yang keluar membahagiakan, saat angka delapan serta sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semuanya memprotes yang saya berikan. Bapak akan berasumsi ini semuanya angin lantas. Bapak dapat berpesta diatas grafik indah itu, mengadakan perkataan selamat pada mereka yang lulus, pada tim UNAS, pada diri Bapak sendiri, serta Bapak akan lupa. Bapak yang saya meyakini telah berulang-kali mendengar pepatah ‘don’t judge a book by its cover’, bakal lupa untuk lihat ke balik kover indah itu. Bapak bakal melupakan peluang kalau yang Bapak saksikan itu yaitu hasil kerja beberapa ‘ghost writer UNAS’. Bapak bakal lupa untuk ajukan pertanyaan pada diri Bapak, berapakah % dari grafik itu yang kerjakan dengan jujur? Lalu Bapak bakal mengambil keputusan kalau Indonesia telah siap dengan UNAS berstandard Internasional, walau sebenarnya sebenarnya belum. Joki-jokinyalah yang telah siap, bukanlah kami. Mengerikan bukanlah, Pak, dampak dari tak terusut selesainya joki di negeri ini? Mengerikan bukanlah, Pak, saat kebohongan menjelma jadi kebenaran semu?
Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur telah menelan pil pahit. Pil pahit lantaran saat kami berupaya demikian keras, sebagian rekan kami dengan nyamannya tertidur nyenyak lantaran telah memperoleh wangsit sebelumnya ulangan. Pil pahit lantaran saat kami masihlah mesti berjuang menjawab sebagian masalah di saat yang makin sempit, sebagian rekan kami bikin keributan dengan enjoy, sedang beberapa pengawas sangat takut untuk menyapa lantaran telah ada kesepakatan antar sekolah. Pil pahit, lantaran kami tidak paham hasil apa yang akan kami terima kelak, apakah kami dapat tersenyum, atau mungkin mesti menangis lagi…
Berhentilah bersembunyi dibalik kalimat, ” Saya yakin masihlah ada yang jujur di generasi muda kita “. Ya ampun Pak, bila cuma itu saya juga yakin. Namun masalahnya bukanlah ada atau tak ada, tetapi berapakah, serta banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak saksikan di grafik itu yaitu grafik sebagian besar. Bagaimana bila sebagian besar malah yg tidak jujur, Pak? Coba, untuk kesempatan ini saja tanyakan kedalam hati Bapak, berapakah % siswa yang dapat ditanggung jujur dalam UNAS, dibanding dengan yang cuma jujur diatas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa dapat mengakibatkan negara celaka. Bila ingin menolong kurangi dosa orang-orang Indonesia, saya miliki satu usul efisien. Hapuskan kolom ‘saya kerjakan ujian dengan jujur’ dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukanlah hal sepele, Pak, sekalipun bukanlah ; terlebih saat akhirnya jadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga th., sekalian pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk kampus maksud kami. Bila derajat UNAS ditempatkan setinggi itu, harusnya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi juga. Harusnya tidak ada narasi mengenai masalah bocor, bobot tak rata, serta tingkat kesusahan luput disosialisasikan ke siswa.
Kejujuran itu awalannya sakit, namun buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Namun tidakkah Pengadilan Negeri tetaplah ada walau kita semua paham keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masihlah terus merekrut polisi-polisi baru walau kita semua paham kebenaran pasti akan menang?
Serta bukankah itu tugas Bapak serta bebrapa lembaga pendidikan, untuk tunjukkan pada kami, beberapa generasi muda, kalau kejujuran itu layak untuk dicoba serta bisa saja untuk dikerjakan?
Kejujuran itu awalannya sakit, buahnya manis.
Namun itu bukanlah argumen untuk Bapak untuk tutup mata pada kecurangan yang berlangsung di lokasi kewenangan Bapak.
Kami yang berupaya jujur masihlah belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Namun mungkin hal semacam itu sangat sepele bila dibanding dengan masalah Bapak Menteri yang bejibun serta tambah lebih berbobot. Jadi keinginan saya mewakili teman-teman pelajar hanya satu ; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistim pendidikan di negeri ini, serta kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami kalau kejujuran itu yaitu semuanya. Sekolah yang tidak akan diam waktu lihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu pada siapa lagi kami mesti percaya. Pada siapa lagi kami mesti mencari kejujuran, saat lembaga yang mengajarkannya malah diam membisu saat waktu untuk mengamalkannya tiba…
berkembang-biak jadi 20 paket masalah. Pemerintah nampaknya berasumsi kalau banyak paket masalah akan bikin jawaban joki meleset serta UNAS bisa jalan mulus, murni, bersih, sebersih baju yang dicuci gunakan detergen mahal.
Iya segera bersih
cling demikian, toh?
Kenyataannya tak.
Meskipun dengan 20 paket masalah, joki-joki itu rupanya masihlah dapat memperkirakan masalah sekalian jawabannya. Penambahan jumlah paket itu cuma bikin tarif mereka semakin naik. Setahu saya, mereka bahkan juga dapat memasukkan kalimat pertama untuk empat nomer tententu di setiap paket supaya beberapa siswa dapat mencari yang mana paket mereka. Lho, kok dapat? Ya tak tahu. Tidaklah sampai disana, jawaban yang mereka berikanlah juga dapat tembus hingga diatas sembilan puluh %. Lho, kok dapat? Ya sekali lagi, tak tahu. Seperti yang saya katakan, bila telah tiba sembilan puluh % akurat demikian bukanlah bocor lagi namanya, tetapi banjir bandang. Waktu joki telah dapat memasukkan masalah, tidak cuma jawaban, jadi yaitu satu misteri Ilahi bila pemerintah masihlah mampu bersumpah tak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memanglah cuma pelajar umum. Namun saya dapat juga membedakan mana jawaban yang memercayakan dukun serta mana jawaban yang didapat lantaran pernah lihat masalah. Apa salah bila pada akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun serta pencetak masalah? Sebab jujur saja, air hujan akan tidak menetesi lantai tempat tinggal bila tak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… tiga hal yang saya paparkan diatas telah mulai sejak lama menggumpal di hati serta fikiran saya, menggedor-gedor batas kekuatan saya, menghimpit kepercayaan serta iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, kalau tingkat masalah yang sedemikian berikut yang meningkatkan kami, beberapa pelajar, untuk berbuat curang? Bila tak… saya beritahu satu hal, Pak. Terdapat banyak rekan saya yang semula berkemauan untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, fokus diri pada materi yang di ajarkan oleh beberapa guru, serta berdoa dengan khusyuk. Namun sesudah lihat masalah yg tidak berperikesiswaan itu, kemauan mereka luruh. Waktu dihadapkan pada masalah yang belum pernah mereka saksikan terlebih dulu itu, mereka roboh. Mereka menangis, Pak. Apa kekeliruan mereka hingga mereka layak untuk di buat menangis bahkan juga sesudah mereka berupaya keras? Sebagian dari mereka sangat terpaksa mengintip jawaban yang disebar rekan-rekan, lantaran dihantui oleh perasaan takut tak lulus. Sebagian yang lain cuma dapat bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa diantara airmata mereka… mengharapkan Tuhan menolong.
Saya tak dapat seutuhnya menyalahkan rekan-rekan yang sangat terpaksa curang sesudah mereka belajar namun masalah yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan serta angan yang tidak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orang-tua. Makin jujur kami, makin berat beban itu. Sebelumnya hingga di gerbang UNAS, kami sudah melalui ulangan sekolah, ulangan praktik, serta beragam ulangan yang lain. Tenaga, cost, serta fikiran kami telah banyak terkuras. Namun waktu kami menggenggam harapan serta doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut beberapa penyusunnya sendiri berisi masalah OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk serta kerjakan masalah Matematika yang kami bisa di UNAS tempo hari sepanjang dua jam tanpa ada lihat buku ataupun internet. Bila Bapak dapat menjawab benar lima puluh % saja, Bapak saya akui layak jadi Menteri. Bila Bapak berdalih ‘ah, ini bukanlah bagian saya’, lalu Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak sangka kami semuanya anak OSN? Apa Bapak sangka kami semuanya pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bhs Indonesia, serta Bhs Inggris sekalian? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semuanya bidang itu? Telah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tak.
Sudah pasti Bapak tak sepercaya itu pada kami. Sebab bila Bapak yakin, Bapak akan tidak hingga terpikir untuk bikin dua puluh paket masalah, walau sebenarnya lima paket saja belum pasti bobot masalah ke lima paket itu seratus % sama. Bila Bapak yakin, Bapak akan tidak berniat menempatkan persentase UNAS diatas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, walau sebenarnya belum pasti kemurnian nilai UNAS itu diatas kemurnian nilai sekolah. Bila Bapak yakin, Bapak akan tidak terasa butuh untuk lakukan sidak. Bila Bapak yakin… mungkin saja Bapak bahkan juga akan tidak terasa butuh untuk mengadakan UNAS.
Anda akan menyampaikan kalimat klise itu, Pak, kalau nilai itu tak utama, yang utama itu kejujuran.
Namun tahukah, bahwa kebijakan Bapak begitu kontradiktif dengan kalimat Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang cuma berjalan tiga hari tanpa ada jaminan kalau siswa yang melakukan ada dalam keadaan optimalnya) diatas bobot nilai sekolah (yang sepanjang tiga th. telah sulit payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak otomatis mengutamakan kalau UNAS itu utama, serta tersebut sebenarnya, Pak. Tersebut fakta yang bikin kami, beberapa pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak kalau keyakinan diri siswa gampang hancur? Pertahanan kami makin remuk saat kami dihadapkan oleh masalah yang ada diluar pengalaman kami. Sempatkah Bapak fikirkan ini terlebih dulu? Kalau masalah yang diluar kekuatan kami, masalah yang luput Bapak sosialisasikan pada kami walau persiapan UNAS bukan sekedar satu-dua minggu serta Bapak sebenarnya miliki banyak peluang bila saja Bapak ingin, sebenarnya dapat bikin kami alami mental breakdown yang begitu kuat? Sempatkah Bapak fikirkan ini sebelumnya mengambil keputusan untuk keluarkan bebrapa masalah tak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene yaitu penentu kelulusan kami?
Selanjutnya, Pak, ijinkan saya untuk menyampaikan, kalau apa yang telah Bapak kerjakan selama ini mengenai UNAS malah cuma bikin kecurangan makin merebak. Bapak serta beberapa orang dewasa yang lain kerap menyampaikan kalau kami yaitu remaja yang masihlah labil. Masih tetap dalam sistem pencarian jati diri. Kerap bertingkah tidak paham diri, tidak mematuhi etika, serta berbuat onar. Namun tahukah, saat semestinya Bapak sebagai orang-tua kami memberi kami panduan ke jalan yang baik, apa yang Bapak kerjakan dengan UNAS sepanjang tiga hari ini malah mengarahkan kami pada jati diri yang jelek. Tingkat kesusahan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yg tidak pernah diusut hingga selesai letak kebocorannya, paket masalah yang belum terang kesamarataan bobotnya, semuanya malah mengarahkan kami, beberapa siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah juga ditekan oleh tujuan lulus seratus %, hingga mereka diam hadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Beberapa pendidik terdiam saat semestinya mereka berteriak lantang menentang dusta. Bila butuh, sekalian jalin perjanjian dengan sekolah lain yang kebetulan jadi pengawas, supaya anak didiknya tak dipersulit.
Hingga sini, masihlah beranikah Bapak katakan kalau tak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga begitu besar bukan sekedar pada UNAS namun juga pada system pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Mungkin sekolah yang salah, lantaran sudah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tidak benar. Mungkin kami yang salah, lantaran kami sangat pengecut untuk menjaga kejujuran. Mungkin joki-joki itu yang salah, lantaran mereka jual kecurangan serta berbuat tidak etis pengetahuan untuk memperoleh duit.
Namun tak salah jugakah pemerintah? Tak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan berlangsung lantaran ada peluang. Tidakkah telah jadi pekerjaan Bapak sebagai yang berwenang untuk meyakinkan kalau peluang untuk berlaku curang itu tak ada?
Mungkin saja Bapak akan tidak yakin pada saya, serta Bapak akan berkata, ” Kita saksikan saja akhirnya kelak. ”
Lalu satu bulan lagi saat hasil yang keluar membahagiakan, saat angka delapan serta sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semuanya memprotes yang saya berikan. Bapak akan berasumsi ini semuanya angin lantas. Bapak dapat berpesta diatas grafik indah itu, mengadakan perkataan selamat pada mereka yang lulus, pada tim UNAS, pada diri Bapak sendiri, serta Bapak akan lupa. Bapak yang saya meyakini telah berulang-kali mendengar pepatah ‘don’t judge a book by its cover’, bakal lupa untuk lihat ke balik kover indah itu. Bapak bakal melupakan peluang kalau yang Bapak saksikan itu yaitu hasil kerja beberapa ‘ghost writer UNAS’. Bapak bakal lupa untuk ajukan pertanyaan pada diri Bapak, berapakah % dari grafik itu yang kerjakan dengan jujur? Lalu Bapak bakal mengambil keputusan kalau Indonesia telah siap dengan UNAS berstandard Internasional, walau sebenarnya sebenarnya belum. Joki-jokinyalah yang telah siap, bukanlah kami. Mengerikan bukanlah, Pak, dampak dari tak terusut selesainya joki di negeri ini? Mengerikan bukanlah, Pak, saat kebohongan menjelma jadi kebenaran semu?
Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur telah menelan pil pahit. Pil pahit lantaran saat kami berupaya demikian keras, sebagian rekan kami dengan nyamannya tertidur nyenyak lantaran telah memperoleh wangsit sebelumnya ulangan. Pil pahit lantaran saat kami masihlah mesti berjuang menjawab sebagian masalah di saat yang makin sempit, sebagian rekan kami bikin keributan dengan enjoy, sedang beberapa pengawas sangat takut untuk menyapa lantaran telah ada kesepakatan antar sekolah. Pil pahit, lantaran kami tidak paham hasil apa yang akan kami terima kelak, apakah kami dapat tersenyum, atau mungkin mesti menangis lagi…
Berhentilah bersembunyi dibalik kalimat, ” Saya yakin masihlah ada yang jujur di generasi muda kita “. Ya ampun Pak, bila cuma itu saya juga yakin. Namun masalahnya bukanlah ada atau tak ada, tetapi berapakah, serta banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak saksikan di grafik itu yaitu grafik sebagian besar. Bagaimana bila sebagian besar malah yg tidak jujur, Pak? Coba, untuk kesempatan ini saja tanyakan kedalam hati Bapak, berapakah % siswa yang dapat ditanggung jujur dalam UNAS, dibanding dengan yang cuma jujur diatas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa dapat mengakibatkan negara celaka. Bila ingin menolong kurangi dosa orang-orang Indonesia, saya miliki satu usul efisien. Hapuskan kolom ‘saya kerjakan ujian dengan jujur’ dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukanlah hal sepele, Pak, sekalipun bukanlah ; terlebih saat akhirnya jadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga th., sekalian pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk kampus maksud kami. Bila derajat UNAS ditempatkan setinggi itu, harusnya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi juga. Harusnya tidak ada narasi mengenai masalah bocor, bobot tak rata, serta tingkat kesusahan luput disosialisasikan ke siswa.
Kejujuran itu awalannya sakit, namun buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Namun tidakkah Pengadilan Negeri tetaplah ada walau kita semua paham keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masihlah terus merekrut polisi-polisi baru walau kita semua paham kebenaran pasti akan menang?
Serta bukankah itu tugas Bapak serta bebrapa lembaga pendidikan, untuk tunjukkan pada kami, beberapa generasi muda, kalau kejujuran itu layak untuk dicoba serta bisa saja untuk dikerjakan?
Kejujuran itu awalannya sakit, buahnya manis.
Namun itu bukanlah argumen untuk Bapak untuk tutup mata pada kecurangan yang berlangsung di lokasi kewenangan Bapak.
Kami yang berupaya jujur masihlah belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Namun mungkin hal semacam itu sangat sepele bila dibanding dengan masalah Bapak Menteri yang bejibun serta tambah lebih berbobot. Jadi keinginan saya mewakili teman-teman pelajar hanya satu ; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistim pendidikan di negeri ini, serta kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami kalau kejujuran itu yaitu semuanya. Sekolah yang tidak akan diam waktu lihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu pada siapa lagi kami mesti percaya. Pada siapa lagi kami mesti mencari kejujuran, saat lembaga yang mengajarkannya malah diam membisu saat waktu untuk mengamalkannya tiba…
Dari anakmu yang meredam sakit,
sumber : balabalaado.com