Kalumpang, bukan sekedar kecamatan terluas di pegunungan Mamuju, ibu kota
Sulawesi Barat. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu
menyimpan sejuta kisah asal muasal peradaban manusia di Sulawesi. Bangsa
Austronesia, bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini
kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini.
Keberadaan bangsa
yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai Madagaskar, serta
Selandia Baru sampai Hawaii itu terlacak melalui penemuan sejumlah situs
di wilayah tersebut. Situs ini diyakini berusia sekitar 3.600 tahun
sebelum masehi. Terbilang tua, lantaran mendekati catatan waktu penutur
Austronesia kuno menyebar di nusantara sekitar 4.000 SM.
Temuan
arkeologi yang termasyur di wilayah itu adalah situs Minanga Sipakko dan
Kamassi. Penemuan yang kelak dikenal sebagai situs Kalumpang itu
merupakan wilayah pegunungan yang menyimpan alat-alat prasejarah seperti
gerabah, tembikar, mata panah dan kapak batu.
Situs ini kali
pertama diperkenalkan van Stein Callenfels, peneliti Belanda yang
menggali di wilayah tersebut pada 1933. Ia melakukan penelitian setelah
tiga tahun sebelumnya penilik sekolah Majene Amiruddin Maulana menemukan
sebuah patung Buddha berjubah perunggu di Sikendeng, tepi Sungai
Karama.
Patung yang kini tersimpan di Museum La Galigo, kompleks
benteng Fort Rotterdam Makassar, Sulawesi Selatan, itu terbilang berbeda
dari kebanyakan patung Buddha di nusantara. Patung diduga dipengaruhi
gaya Budha Greeco, di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati.
Aliran yang pengaruhnya cukup besar ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2
hingga 7 Masehi.
Van Stein lantas menginformasikan temuannya
dalam Kongres Prasejarah Asia Timur di Manila pada 1951. Ilmuan dunia
pun berdatangan ke Kalumpang hingga sekarang. Mereka terus menghasilkan
penemuan baru yang kini diperkirakan mencapai 12 situs.
Yang
menarik di antaranya adalah Batu Tabuqung, sebuah kompleks makam kuno di
Dusun Kondobulo. Pemakaman ini mirip situs Londa di Tana Toraja,
Sulawesi Selatan, lantaran kerangka manusia tak dikubur, melainkan
disimpan dalam peti kayu berukir yang diletakkan di tebing batu. Konon,
kerangka kuno tersebut jauh lebih besar ukuran normal orang Indonesia.
Penemuan
lainnya terdapat di Dusun Lebani, berupa wilayah yang mengandung tanah
liat untuk membuat tembikar. Tanah ini cukup unik karena berwarna biru
laut dengan tekstur yang lembut serta bau yang khas. Sejak dahulu kala,
warga Lebani menjadikannya sumber kerajinan tangan.
Penemuan yang tak kalah menarik adalah batu di puncak gunung yang ditumbuhi padi. Batu yang dinamai warga pare dewata atau pare manurung
itu konon berganti jenis dengan sendirinya setiap tahun. Tanaman yang
dipercaya warga berasal dari anugerah dewa itu pernah menjadi sumber
makanan bagi warga Tana Lotong.
Secara geografis, wilayah Tana
Lotong berbatasan dengan Tana Toraja dan Luwu Utara, di sebelah timur,
Mamasa di sebelah selatan, Kecamatan Kalukku sebelah Barat, serta
Budong-budong di sebelah utara. Dari Ibukota Kecamatan kalumpang, hanya
tersisisa jarak 50 km sebelum mencapai Toraja, wajar budaya di daerah
ini mirip dengan sentra wisata Sulawesi Selatan itu.
Sayangnya,
di banding ke Tana Toraja, akses transportasi dari Mamuju masih belum
sepenuhnya mendukung ke daerah ini. Padahal jarak dari ibu kota Sulawesi
Barat ke Kalumpang hanya sekitar 135 kilometer yang sebenarnya bisa
ditempuh sekitar 3 jam. Akibatnya, waktu tempuh bisa melorot hingga
tujuh jam.
Kondisi ini tak lepas dari medan jalan yang cadas
lantaran melewati sekitar 15-20 anak sungai berbatu dan menerobos hutan
lebat. Itu ditemukan setelah melewati Tasiu, sekitar 30 kilometer dari
Mamuju, menuju Kalumpang. Disarankan menggunakan mobil seperti jeep atau
sepeda motor jenis trail. Bisa juga menumpang mobil bak terbuka yang
bisa disewa di Mamuju atau Tasiu dengan tarif sekitar Rp 100 ribu.
Bila
hendak kesana, tidak dianjurkan pada musim penghujan lantaran sungai
kerap meluap dan ketersediaan jembatan yang minim. Wilayah Tana Lotong
juga masih perawan dari teknologi dengan tidak adanya sinyal dan aliran
listrik yang hanya mengandalkan genset. Tapi bagi petualang dan senang
dengan sejarah, wilayah ini direkomendasikan untuk dikunjungi.sumber : sulbarkita.com
0 Response to "Kalumpang : Jejak Manusia Pertama Di Sulawei"
Posting Komentar