Bekerja sebagai staf rehabilitasi sosial pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Nunukan, disadari Aslinda pasti penuh dengan resiko.
Sejak memutuskan masuk sebagai tenaga honor pada 2012 lalu, gadis kelahiran Nunukan, 20 Agustus 1988 ini sudah tahu pekerjaan yang akan dihadapinya.
“Sudah terpikir pasti nanti kerjanya berhubungan dengan orang
bermasalah seperti gangguan jiwa, orang dengan kecacatan mental, korban
tindak kekerasan,” kata Sarjana Psikologi lulusan Universitas Indonesia
Timur, Makassar ini.
Seperti yang sudah dibayangkannya, hari pertama bekerja diapun
langsung dihadapkan dengan orang gila yang sedang ditangani saat itu.
Bagaimana responnya saat itu? “Kalau saya sebenarnya biasa saja.
Karena yang seperti ini juga kita pelajari waktu kuliah. Sering kita
berhadapan dengan orang yang sedang gangguan jiwa,” kata wanita yang
mengaku belum memiliki pacar ini.
Karakter orang gila yang ditanganinya ini juga bermacam-macam. Ada yang lucu, agresif adapula yang pendiam.
“Yang pasti mereka ini lucu-lucu. Ada yang suka bernyanyi sendiri,” ujarnya.
Mendapat caci maki dari orang gila yang sedang ditanganinya, sudah
menjadi ‘makanan’ sehari-hari yang tak mengendorkan semangatnya untuk
tetap memberikan pelayanan kepada mereka.
“Kalau dimarah-marah sering. Biasanya mereka marah kalau disuruh
mandi, tidak mau mandi dia marah-marah. Disuruh makan, dia tidak mau
makan malah marah-marah,” katanya.
Namun, jika orang gila itu sampai bertindak agresif hingga membawa
senjata tajam, diapun harus lebih berhati-hati dan memilih berkomunikasi
dari jarak yang lebih jauh.
“Kalau ada yang agresif sampai membawa senjata tajam, kita harus
menghindar. Pernah diancam dengan senjata tajam, kita tidak berani
dekat,” katanya.
Selain dimarah, Aslinda juga kerap mendapatkan perlakuan tidak
mengenakkan dari orang gila yang sedang ditampung di rumah rehabilitasi
sosial.
Dia mengaku seringkali diludahi. “Kalau diludahi sering sekali,” ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.
“Yang pasti mereka ini lucu-lucu. Ada yang suka bernyanyi sendiri,” ujarnya.
Mendapat caci maki dari orang gila yang sedang ditanganinya, sudah
menjadi ‘makanan’ sehari-hari yang tak mengendorkan semangatnya untuk
tetap memberikan pelayanan kepada mereka.
“Kalau dimarah-marah sering. Biasanya mereka marah kalau disuruh
mandi, tidak mau mandi dia marah-marah. Disuruh makan, dia tidak mau
makan malah marah-marah,” katanya.
Namun, jika orang gila itu sampai bertindak agresif hingga membawa
senjata tajam, diapun harus lebih berhati-hati dan memilih berkomunikasi
dari jarak yang lebih jauh.
“Kalau ada yang agresif sampai membawa senjata tajam, kita harus
menghindar. Pernah diancam dengan senjata tajam, kita tidak berani
dekat,” katanya.
Selain dimarah, Aslinda juga kerap mendapatkan perlakuan tidak
mengenakkan dari orang gila yang sedang ditampung di rumah rehabilitasi
sosial.
Dia mengaku seringkali diludahi. “Kalau diludahi sering sekali,” ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.
“Kita iya-iya saja. Kalau mereka ketawa, kita juga harus ikut ketawa,” katanya.
Untuk proses pemulihan, para orang gila ini harus dibawa ke rumah
sakit jiwa di Tarakan. Dengan menumpang speeboat, butuh waktu sekitar
tiga jam perjalanan.
Selama perjalanan itulah, Aslinda tak henti-hentinya mengajak orang gila itu ngobrol.
“Walaupun tidak nyambung, harus diajak cerita,” ujarnya.
Terkadang, saat orang gila itu ingin berbuat hal yang aneh-aneh,
Aslinda harus bisa memberikan pemahaman. Seperti contoh misalnya, saat
berada dispeedboat orang gila itu akan merokok.
“Kita berikan pemahaman, ini tidak bisa merokok karena ada bensin nanti terbakar. Dia ikut saja,” katanya.
Tak sedikit orang gila yang pernah ditangani Aslinda, akhirnya
kembali normal. Beberapa diantaranya kemudian menjadi relawan untuk
membantu orang gila lainnya yang sedang ditangani di rumah rehabilitasi
sosial.
“Ada yang bantu mengurus orang gila, ada yang bantu masak,” katanya.
Aslinda mengaku sudah melayani lebih dari 20 orang gila selama bertugas
di sana. Orang gila ini ditampung di rumah rehabilitasi sebelum dibawa
ke rumah sakit jiwa di Tarakan. Sebagian orang gila ini merupakan
penduduk lokal sementara sisanya berasal dari Malaysia.
0 Response to "Kisah Nyata Aslinda Sarjana Psikologi Lulusan UIT Makassar"
Posting Komentar